Jumat, 27 Januari 2012

HAKIKAT BAHASA BERDASARKAN PENDEKATAN SINKRONIS DAN PENDEKATAN DIAKRONIS

Oleh: Muh. Ardian Kurniawan

Pada dasarnya mempelajari suatu ilmu adalah untuk memperoleh hakikat atau inti dari ilmu itu sendiri. Demikian pula halnya dalam mempelajari ilmu bahasa, haruslah diketahui hakikat mempelajarinya. Ilmu bahasa sendiri merupakan ilmu yang perkembangannya sudah demikian luas semenjak menjadi disiplin ilmiah tersendiri yang terpisah dari filsafat.
Berdasarkan cara kerjanya, linguistik dibedakan menjadi dua, yaitu pendekatan sinkronis (linguistik sinkronis) dan pendekatan diakronis (linguistik diakronis). Berikut ini akan dipaparkan ihwal dua pendekatan tersebut.

Pendekatan Sinkronis dan Pendekatan Diakronis
Istilah sinkronis dan diakronis sudah mulai muncul sejak abad ke-19. Pioner yang memperkenalkan istilah ini adalah Ferdinand de Saussure, linguis Swiss yang juga peletak dasar linguistik modern. Pada mulanya, Saussure adalah seorang ahli linguistik diakronis. Ia meneliti bahasa-bahasa Indo-Eropa (Kridalaksana, 2005: 9-10). Ia kemudian berusaha mengembangkan pendekatan baru dalam linguistik yang ia namakan pendekatan sinkronis.
Pendekatan sinkronis adalah pendekatan yang titik kajiannya menyasar pada bahasa dalam satu kurun masa tertentu. Dalam masa waktu kajian yang terbatas (Chaer, 2007: 14) itu, bahasa tersebut diterangkan bagaimana cara kerja dan penggunaannya oleh para penuturnya (Alwasilah, 1991: 87). Atau dalam istilah Parera (1991), linguistik sinkronis mempelajari bahasa berdasarkan gejala-gejala bahasa yang bersifat sezaman yang diujarkan oleh pembicara.
Sementara pendekatan diakronis berupaya mengkaji bahasa (atau bahasa-bahasa) pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya (bila sudah punah) atau sampai masa kini (Chaer, 2007). Dalam kajian ini, bahasa dilihat memiliki fase-fase yang mencerminkan perkembangan bahasa tersebut (Parera,1991).
Untuk lebih memudahkan dalam memahami kedua wujud pendekatan tersebut, Saussure menjelaskan dengan menggunakan analogi batang pohon yang dipotong secara vertikal dan horisontal. Untuk potongan horisontal, Saussure menyebutnya sebagai pendekatan sinkronis. Sementara potongan vertikal dinamakan pendekatan diakronis (Kridalaksana, 2005).
Pada perkembangan selanjutnya, kedua istilah ini juga kerap dipadankan dengan istilah-istilah lain. Memang masih ada yang tetap menggunakan istilah ini sebagaimana diwariskan oleh Saussure, yaitu linguistik sinkronis dan diakronis (bandingkan Parera, 1991: 21-22; Verhaar, 1996: 15; dan Chaer, 2007: 14-15). Tetapi, ada juga yang memilih istilah berbeda, seperti klasifikasi yang diajukan Alwasilah. Dalam klasifikasi Alwasilah (1991) ini, pendekatan sinkronis disejajarkan dengan linguistik deskriptif. Sementara untuk menjelaskan pendekatan diakronis, ia memilih membedakannya menjadi dua, yaitu linguistik historis dan linguistik komparatif. Chaer (2007) berpendapat bahwa pendekatan sinkronis bersifat memerikan (mendeskripsikan), sedangkan pendekatan diakronis dapat bersifat historis atau komparatif. Inilah yang dijadikan dasar bagi penganut kelompok yang menggunakan istilah yang berbeda tersebut.
Bila dirunut dalil-dalil pendukung, akan didapatkan penjelasan sebagai berikut. Pendekatan sinkronis dinamakan pendekatan deskriptif karena didasarkan oleh cara kerja pendekatan ini yang lebih banyak bertujuan untuk memerikan wujud bahasa ke dalam struktur-struktur bahasa. Sementara pendekatan diakronis disebut sebagai pendekatan historis (komparatif) karena kecenderungan kajiannya yang berpusat pada analisis perbandingan (komparatif) bahasa-bahasa sepanjang waktu (historis).
Dalam tulisan ini, akan diulas sedikit ihwal linguistik historis dan linguistik komparatif yang diajukan oleh Alwasilah tadi. Linguistik historis adalah cabang linguistik yang mempelajari perkembangan sejarah bahasa tertentu. Linguistik historis cenderung bersifat diakronis saja. Sementara linguistik komparatif adalah satu pendekatan terhadap studi bahasa di mana perangkat-perangkat hubungan fonologi, gramatik, dan leksis antara periode-periode yang berbeda dikumpulkan dan diklasifikasikan. Studi ini tidak mesti ditilik dari sudut pandang diakronis saja, tetapi dapat juga dikaji berdasarkan pandangan sinkronis (Alwasilah, 1991).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan hakikat mempelajari bahasa berdasarkan telaah sinkronis dan telaah diakronis yang akan dijelaskan sebagai berikut.

a.      Hakikat Mempelajari Bahasa secara Sinkronis
Telaah sinkronis berusaha untuk memerikan penggunaan bahasa secara empiris. Dalam hal ini, bahasa dilihat dari cara kerjanya. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, pendekatan sinkronis mengkaji bahasa pada konteks kekinian. Konteks kekinian ini tidak mesti dilihat pada masa sekarang, tetapi dapat dilihat pada masa kini di satu kurun masa tertentu.
De Saussure menyatakan bahwa orang hanya bisa mengetahui sistematika sebuah bahasa alamiah dengan baik jika bertolak dari titik pandangan sinkronis (Dik dan Kooij, 1994: 35). Dengan hanya memaparkan satu bagian sejarah saja, maka pendekatan sinkronis dapat menyusun deskripsi bahasa tersebut secara jelas.
Selain itu, pendekatan sinkronis juga dapat menjadi landasan bagi pelaksanaan penelitian diakronis. Ilmu bahasa diakronis selalu berpraduga ilmu bahasa sinkronis; agar mengetahui bagaimana bahasa berkembang secara diakronik, lebih dahulu kita harus tahu bagaimana bahasa itu berstruktur secara sinkronik (Dik dan Kooij, 1994: 251).

b.      Hakikat Mempelajari Bahasa secara Diakronis
Ilmu bahasa diakronis berusaha memerikan dan menjelaskan perubahan bahasa secara empiris. Dalam praktiknya, telaah secara diakronis berkelindan pada pemerian bahasa-bahasa yang lebih tua. Pengkajian yang dilakukan berakhir pada satu tujuan umum, yaitu melihat akibat evolusi bahasa (Martinet, 1987). Dengan kata lain, pendekatan diakronis mempelajari bahasa demi pengkajian evolusi bahasa.
Telaah mengenai perubahan bahasa membuat kita paham tentang apa yang sifatnya hakiki (tak dapat berubah) dalam bahasa. Dengan demikian, telaah diakronis berguna bagi penemuan hakikat bahasa tersebut (Dik dan Kooij, 1994). Penemuan hakikat bahasa akan mengantarkan kita pada pemahaman dasar atas bahasa tersebut.
Tujuan mempelajari bahasa secara diakronis adalah untuk mengetahui sejarah struktural bahasa itu beserta dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya. Hasil kajian diakronis sering kali diperlukan untuk menerangjelaskan deskripsi studi sinkronik (Chaer, 2007).



BIBLIOGRAFI

Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit Angkasa.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rinneka Cipta.
Dik, S.C. dan Kooij, J.G. 1994. Ilmu Bahasa Umum. Jakarta: RUL.
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis Komparatif, dan Tipologi Struktural (edisi kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.